Ketapang – Proyek pembangunan Rumah Sakit Pratama
di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, yang didanai dari APBD Kabupaten
Ketapang 2021 sebesar Rp. 25 miliar, kini tersandung kasus korupsi. Proses
hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi ini telah bergulir ke pengadilan
dengan empat terdakwa. Namun, proyek yang seharusnya selesai dan melayani
masyarakat Sandai hingga kini tidak beroperasi, bahkan terlihat mangkrak dan
terbengkalai.
Kasus ini awalnya ditangani oleh
Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) sebelum dilimpahkan ke
pengadilan. Warga Kecamatan Sandai telah lama menantikan fasilitas kesehatan
tersebut, tetapi hingga kini rumah sakit tersebut belum berfungsi.
“Kami sangat berharap dengan adanya
rumah sakit ini, tapi kenyataannya pembangunannya malah mangkrak, tidak
beroperasi, dan sekarang kondisinya tidak terawat,” ujar RM, seorang warga
Sandai, mengungkapkan kekecewaannya, pada Kamis (17/10/2024).
Dugaan korupsi dalam proyek ini
mencerminkan masalah kronis di Pemerintahan Daerah, terutama dalam hal tata
kelola infrastruktur publik dan pelayanan kesehatan. Mengingat, dugaan kasus
korupsi proyek Rp. 25 miliar ini menunjukkan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan
anggaran yang menyebabkan kerugian negara serta dampak negatif bagi masyarakat
Sandai yang seharusnya menikmati fasilitas kesehatan yang memadai.
“Kasus ini adalah contoh buruk dari
pelayanan publik yang seharusnya memperbaiki kehidupan masyarakat, namun malah
disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Kerugian terbesarnya dialami
masyarakat, terutama dalam hal akses layanan Kesehatan,” jelas Iga Pebrian
Pratama, S.H., CPM, CPLi, CPArb., Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia.
Iga juga mengapresiasi kerja aparat
penegak hukum yang telah membawa kasus ini ke persidangan, dengan empat
terdakwa yang kini menjalani proses pengadilan. Namun, dia juga mendesak agar
penegakan hukum lebih fokus dalam mengusut tuntas pihak-pihak lain yang diduga
terlibat tetapi belum tersentuh oleh proses hukum.
“Aparat penegak hukum harus lebih
tegas mengungkap aktor-aktor utama di balik kasus ini, agar kasus korupsi ini
tuntas dan memberikan efek jera,” tambahnya.
Selain itu, dari sudut pandang hukum,
kasus ini melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur
penyalahgunaan anggaran negara. Pengungkapan aktor utama dan penyelesaian kasus
ini tidak hanya berdampak pada penegakan hukum, tetapi juga sebagai langkah
preventif untuk meminimalisir potensi korupsi pada proyek infrastruktur
lainnya.
Iga menjelaskan bahwa korupsi yang
terjadi dalam proyek ini tidak hanya mencerminkan buruknya tata kelola
pemerintahan, tetapi juga menimbulkan kerugian sosial yang signifikan bagi
warga Kecamatan Sandai. Rumah sakit yang diharapkan menjadi pusat pelayanan
kesehatan bagi ribuan masyarakat justru terbengkalai dan tidak berfungsi. Ini
menambah daftar panjang ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat di daerah
terpencil, yang sering kali terpinggirkan dari pembangunan dan pelayanan publik
yang layak.
Masyarakat dan berbagai elemen publik,
seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan praktisi hukum, terang
Iga harus terus memantau perkembangan kasus tersebut agar penanganan kasus ini
dapat berlangsung transparan dan akuntabel, serta membawa keadilan bagi semua
pihak yang terlibat. Tekanan publik diharapkan dapat mendorong aparat penegak
hukum untuk bekerja lebih giat dalam memproses kasus ini hingga aktor-aktor
besar di baliknya diungkap.
“Proses hukum yang tuntas dan
transparan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah, serta memastikan pembangunan infrastruktur kesehatan yang sempat
mangkrak dapat dilanjutkan dan segera beroperasi demi kesejahteraan masyarakat
Sandai dan sekitarnya,” tutup Iga.