Pontianak — Lembaga Bantuan Hukum Kapuas
Raya Indonesia (LBH KRI) melalui Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Maria Putri Anggraini Saragi, menyatakan keprihatinan
mendalam dan mengecam keras tindakan kekerasan dan perundungan terhadap seorang
perempuan berinisial NN, yang terjadi pada Jumat, 13 Juni 2025, di Jalan
Martadinata, Gang Pala, Pontianak Barat. Tiga pelaku berinisial PT, AF, dan SQ
diduga melakukan kekerasan fisik, merekam, dan menyebarkan aksi kekerasan
tersebut di media sosial hingga menjadi viral dan menyebabkan trauma mendalam
bagi korban.
Dalam pernyataan resmi yang
disampaikan hari ini, Maria menyampaikan bahwa tindakan seperti ini adalah
bentuk kekerasan berbasis gender yang serius, dan tidak boleh dilihat
semata-mata sebagai “cekcok remaja” atau “masalah asmara”.
“Apa pun motifnya, kekerasan
adalah kekerasan. Dan ketika kekerasan itu dilakukan secara kolektif,
didokumentasikan, lalu disebarkan secara publik, itu bukan hanya penganiayaan,
tapi bentuk penghinaan menyeluruh terhadap martabat korban,” ujar Maria.
Restorative Justice Tidak Bisa Jadi Dalih Menormalisasi Kekerasan
Maria dengan tegas menyoroti
kemungkinan penerapan pendekatan Restorative Justice (RJ) dalam perkara
ini. Meskipun secara normatif RJ merupakan salah satu pendekatan pemulihan yang
diakomodasi dalam sistem hukum melalui Perpol Nomor 8 Tahun 2021 dan Perkap
Nomor 6 Tahun 2019, namun dalam perkara kekerasan seperti ini, penerapannya harus
ditinjau secara sangat ketat dan penuh tanggung jawab.
“RJ bukan jalan pintas untuk
menyederhanakan kekerasan yang nyata. Ia tidak boleh dipakai untuk membungkam
korban dengan embel-embel damai atau alasan masa depan pelaku masih panjang.
Sebab, trauma korban bukan bisa hilang dengan secarik surat perdamaian.
Kekerasan fisik dan digital yang dilakukan pelaku tidak hanya meninggalkan luka
pada tubuh, tapi juga mengoyak martabat,” tegas Maria.
Menurutnya, dalam perkara ini,
syarat-syarat material penerapan RJ tidak terpenuhi. Perbuatan pelaku terekam
jelas, dilakukan dengan kesengajaan, menimbulkan keresahan publik, dan telah
menyebar luas di media sosial. Ini bukan kasus yang bisa dianggap tidak
berdampak sosial. Bahkan, publik menilai tindakan ini sebagai bentuk
perundungan sistematis terhadap perempuan dan tidak bisa ditoleransi.
“RJ bukan untuk menenangkan opini
publik atau menyelamatkan reputasi pelaku. Ia hanya dapat dijalankan ketika
seluruh pihak, terutama korban, merasa keadilan itu dicapai. Bila korban masih
trauma, publik masih marah, dan pelaku belum sepenuhnya menunjukkan
pertanggungjawaban moral — maka RJ hanya menjadi jalan pintas yang berbahaya,”
tegasnya lagi.
Tindak Tegas Demi Mencegah Kekerasan Berulang
LBH KRI mendorong aparat penegak
hukum untuk melanjutkan proses penyidikan secara menyeluruh dan membawa perkara
ini ke proses peradilan tanpa pengaburan hukum.
“Pasal 170 dan 406 KUHP yang
dikenakan terhadap pelaku sudah tepat. Ditambah dengan Pasal 45 ayat (1) jo
Pasal 27 ayat (1) UU ITE, atau bahkan dapat digunakan peraturan
perundang-undangan lainnya, apabila memang ada relevansinya apalagi jika itu
ada terkait dengan seksualitas, kita punya UU tentang TPKS dan UU tentang Pornografi.
Jelas menunjukkan bahwa ini bukan sekadar tindak kekerasan biasa, melainkan
kejahatan yang diperparah dengan penyebaran konten digital yang merendahkan
korban,” jelas Maria.
Ia juga mengingatkan bahwa korban
dalam kasus ini telah mengalami luka fisik dan trauma mendalam.
“Dalam paradigma hukum modern
yang berbasis hak asasi manusia, keberpihakan kepada korban adalah parameter
utama keadilan. Negara wajib memastikan korban mendapatkan pemulihan,
perlindungan, dan penghormatan atas martabatnya,” ujarnya.
Keadilan Bukan Soal Damai, Tapi Soal Keadilan yang Dilukai
Menutup pernyataannya, Maria
menegaskan bahwa keadilan tidak boleh direduksi menjadi transaksi sosial.
“Kita tidak bisa menukar rasa
sakit dengan surat damai, dan tidak bisa membungkam luka dengan kompromi. Dalam
perkara kekerasan, keadilan bukan soal ‘saling memaafkan’, tapi soal keberanian
negara untuk berpihak pada kebenaran dan melindungi yang lemah dari ketamakan
kekuasaan sosial,” pungkas Maria.
LBH Kapuas Raya Indonesia berkomitmen penuh untuk terus mengawasi perkara ini dan memastikan proses hukum berjalan dengan transparan, adil, dan tidak memberikan ruang sedikit pun bagi kekerasan untuk dibenarkan dengan nama apa pun, termasuk kedok perdamaian.