Pontianak - Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) secara resmi telah menerima Surat Kuasa dari korban berinisial NN, perempuan yang menjadi korban dalam kasus perundungan dan kekerasan yang viral beberapa waktu terakhir. Penyerahan kuasa dilakukan secara langsung di Kantor LBH KRI, sebagai bentuk kepercayaan dan harapan dari korban untuk mendapatkan perlindungan hukum yang tegas, berpihak, dan berkeadilan.
Maria Putri Anggraini Saragi,
Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LBH Kapuas Raya
Indonesia, menyampaikan bahwa sejak awal kasus ini mencuat, pihaknya telah
mengikuti secara aktif perkembangan kasus, dan hari ini secara resmi menjadi
penasihat hukum korban.
“Dengan diterimanya kuasa ini, kami
tegaskan bahwa seluruh upaya intimidasi terhadap korban untuk mencabut laporan
melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung, merupakan
bentuk pelecehan lanjutan terhadap hak-hak korban,” ujar Maria dengan tegas.
Ia menambahkan bahwa korban hingga saat
ini masih dalam kondisi psikis yang tidak stabil, membutuhkan penanganan medis
dan psikologis yang serius, dan negara melalui aparat penegak hukum memiliki
kewajiban konstitusional untuk menjamin rasa aman bagi korban, bukan
membiarkannya merasa tertekan di tengah proses hukum.
Dukungan Penerapan UU TPKS dan Desakan Penegakan Hukum Berperspektif Korban
Maria juga menyatakan bahwa pihaknya
mendukung penuh usulan rekan-rekan dari Sahabat Saksi dan Korban Provinsi
Kalimantan Barat untuk menerapkan pasal-pasal dalam Undang-Undang RI Nomor 12
Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), karena dalam
kasus ini unsur kekerasan seksual sangat nyata.
“Ketika korban ditelanjangi, direkam,
lalu disebarluaskan, itu bukan hanya kekerasan fisik atau mental, tapi
kekerasan seksual yang melanggar hak atas tubuh dan martabat korban,” jelas
Maria.
Menurut Maria, pendekatan hukum yang
digunakan dalam kasus ini harus berpijak pada cara berpikir menyentuh akar
masalah yang ada.
“Kami menyerukan kepada seluruh aparat
penegak hukum untuk tidak sekadar melihat pasal-pasal dalam KUHP dan UU ITE,
tetapi meneropong lebih dalam konteks relasi kuasa, struktur sosial, dan
sistemik patriarki yang membungkam korban perempuan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kekerasan terhadap
perempuan tidak bisa disikapi dengan pendekatan normatif biasa. Diperlukan cara
berpikir kritis, konseptual, dan metodis yang melihat bahwa tubuh perempuan
seringkali menjadi objek kekuasaan dan pengendalian sosial.
“Kekerasan seperti ini bukan hanya soal
siapa memukul siapa, tapi siapa yang merasa punya kuasa atas tubuh dan harga
diri orang lain,” tambahnya.
Seruan Tegas kepada Penegak Hukum: Objektif, Rasional, Presisi
Maria menyerukan kepada Polresta
Pontianak, Polda Kalbar, dan Kejaksaan Negeri Pontianak agar penanganan perkara
ini dilakukan secara objektif, rasional, dan berbasis pada prinsip keadilan
progresif.
“Tidak boleh ada kompromi terhadap
pelaku kekerasan. Hukum bukan hanya alat pidana, tapi alat moral untuk
menyatakan bahwa negara berdiri bersama yang tertindas,” tegasnya.
LBH KRI juga meminta perlindungan
maksimal bagi korban agar tidak terjadi reviktimisasi dalam bentuk pertanyaan
menyalahkan, pengabaian trauma, atau desakan damai yang bersumber dari relasi
sosial yang timpang. Keadilan bukan sekadar formalitas pengadilan, tapi
keberanian untuk berdiri di sisi yang benar meski itu berat secara politik atau
sosial.
“Kami menerima kuasa ini sebagai amanah moral dan politik hukum untuk terus menyalakan cahaya bagi mereka yang dipaksa hidup dalam bayang-bayang kekuasaan. Perempuan tidak lahir untuk dijadikan korban. Mereka berhak hidup dengan martabat, dan negara harus hadir bukan hanya dengan tangan yang menghukum, tetapi juga hati yang memahami dan melindungi,” pungkas Maria.