LBH KRI: Hakim Praperadilan Terjebak Formalisme, Putusan MA Tak Dipertimbangkan

 

Pontianak – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kapuas Raya Indonesia (KRI) menyatakan kekecewaan atas putusan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Mempawah yang menolak seluruh permohonan praperadilan Herman dalam perkara Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN Mpw. LBH KRI menilai hakim terlalu terikat pada formalisme prosedural dan mengabaikan substansi keadilan serta dugaan cacat formil yang sudah mereka ajukan.

Kuasa Hukum Herman dari LBH KRI, Eka Kurnia Chrislianto, S.H., menyebut putusan tersebut sebagai kemenangan formalisme atas keadilan substantif.

“Putusan ini adalah kemenangan bagi formalisme prosedural, tetapi menjadi preseden yang mengkhawatirkan bagi supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Hakim gagal melihat poin utama kami, yaitu bukan soal materi pokok perkara, melainkan integritas proses penyidikan yang secara nyata mengabaikan fakta hukum tertinggi di negeri ini,” kata Eka usai sidang.

Eka menjelaskan, fokus utama permohonan praperadilan adalah cacat prosedur dalam pelaksanaan gelar perkara oleh Polres Kubu Raya yang dijadikan dasar penetapan tersangka Herman. Dalam persidangan, setidaknya dua fakta krusial terungkap. Pertama, gelar perkara yang menetapkan Herman sebagai tersangka digelar pada 30 Juli 2025, yakni 20 hari setelah Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan Kasasi Nomor 1245 K/PID/2025 pada 10 Juli 2025. Putusan tersebut sudah final dan mengikat, dan secara tegas menyatakan Herman sebagai korban dalam peristiwa yang sama. Kedua, penyidik pembantu Junaldi Ginting mengakui di bawah sumpah bahwa ia tidak mengetahui adanya putusan MA saat memimpin gelar perkara.

“Bagaimana mungkin sebuah gelar perkara bisa dianggap sah dan akuntabel jika menutup mata terhadap alat bukti surat paling superior yang sudah ada saat itu? Ini bukan lagi soal isi putusan MA, tetapi soal kelalaian prosedural yang fundamental,” tegas Eka.

Namun, hakim dalam pertimbangannya menyatakan putusan MA adalah bagian dari materi pokok perkara sehingga tidak dapat dipertimbangkan dalam praperadilan. LBH KRI menolak pandangan ini. Menurut Eka, yang dipersoalkan bukan substansi putusan MA, melainkan kegagalan penyidik menjadikannya pertimbangan dalam prosedur gelar perkara.

LBH KRI juga menilai hakim menafsirkan syarat “minimal dua alat bukti yang sah” secara sempit. Eka menekankan, keabsahan alat bukti tidak hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga kualitas proses perolehannya.

“Keterangan ahli yang diajukan termohon cacat secara hukum karena diberikan tanpa mempertimbangkan fakta vital bahwa subjek perkara telah ditetapkan sebagai korban oleh putusan MA. Pendapat yang lahir dari premis keliru tidak bisa dihitung sebagai alat bukti yang sah,” tambah Eka.

LBH KRI menilai penolakan praperadilan ini memunculkan anomali hukum: negara melalui MA menetapkan Herman sebagai korban, tetapi aparat kepolisian justru menetapkannya sebagai tersangka. Kondisi ini dinilai berpotensi mencederai asas kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Meski demikian, LBH KRI menegaskan perjuangan Herman belum berakhir. Eka memastikan pihaknya akan membawa seluruh argumentasi dan bukti, terutama Putusan MA, sebagai bagian dari strategi pembelaan dalam persidangan pokok perkara.

“Praperadilan bukanlah vonis bersalah. Kami percaya kebenaran materiil akan terungkap di sidang pokok perkara,” ujar Eka.

Sebagai penutup, Eka menyampaikan bahwa LBH KRI tetap menghormati putusan PN Mempawah.

“Kami menghargai putusan praperadilan ini, sebagaimana asas res judicata yang menegaskan setiap putusan pengadilan harus dihormati sebagai produk yudikatif. Konsistensi kami jelas bahwa lembaga peradilan, termasuk praperadilan, adalah institusi independen yang tidak boleh diintervensi pihak mana pun tanpa kecuali. Namun, menghargai bukan berarti menghentikan perjuangan. Kami akan melanjutkan upaya hukum di jalur yang tersedia,” tutup Eka.